Minggu, 10 Januari 2010

Jejak Ulama Dalam Sejarah Kemerdekaan RI


Judul : Api Sejarah

Penulis : Ahmad Mansur Suryanegara

Penerbit : Salamadani

Tebal : 584 Halaman

Cetakan: I, 2009

PASCAPENGEBOMAN menara kembar WTC 9 September 2001 lalu, serangkaian peristiwa pengeboman kerap terjadi di tanah air. Mulai dari bom di Plaza Atrium, Kedubes Australia, Bom Bali I dan II, dan terakhir di Hotel Ritz-Carlton dan J.W. Marriot pada Juli lalu. Akan tetapi, setiap terjadi peristiwa pengeboman tersebut, umat Islam sering kali dijadikan sasaran dan diduga sebagai pelaku utamanya. Bahkan, pesantren yang merupakan lembaga pendidikan dan pembinaan spiritual sempat dicurigai sebagai lembaga pencetak teroris yang berbahaya bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Benarkah demikian?

Apabila kita mau menengok sejarah, kita akan menemukan bukti-bukti bahwa ternyata kemerdekaan RI tidak terlepas dari peran ulama dan santri. Bahkan menurut Ahmad Mansur Suryanegara yang merupakan sejarawan Indonesia sekaligus penulis buku ini, tanpa ulama dan santri yang terlahir dari pesantren, Indonesia tidak mungkin merdeka. Sebab, merekalah tonggak perjuangan bangsa sesungguhnya.
Para ulama dan santri tersebut menjadikan agama mereka sebagai ideologi yang menjadi landasan mereka untuk bertindak. Pemikiran seperti ini melahirkan semangat juang yang menggebu-gebu untuk menentang imperialisme. Mereka menganggap Islam sebagai liberating force (kekuatan pembebas) dari segala belenggu kehidupan, termasuk kolonialisme. Dengan demikian, persatuan ulama dan santri serta kaum Muslimin membentuk kekuatan hebat yang integratif.

Dalam bidang ekonomi misalnya, peran ulama muncul dengan lahirnya Sarikat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh H. Samanhudi pada 16 Oktober 1905. Kemudian, organisasi ini berkembang menjadi Sarikat Islam (SI) yang dipimpin oleh H.O.S. Tjokroaminoto dan bersifat politik. Berdirinya SDI ini memelopori perjuangan bangsa dalam bidang ekonomi untuk melawan monopoli ekonomi Cina pada saat itu. Oleh karena itu, Hari Kebangkitan Nasional seharusnya jatuh tepat pada hari lahirnya SDI (16 Oktober), bukan pada tanggal 20 Mei, yakni hari lahirnya Boedi Oetomo. Sebab, Boedi Oetomo baru lahir tiga tahun setelah berdirinya SDI dan merupakan organisasi eksklusif bagi kalangan suku Jawa dan priyayi. Artinya, Boedi Oetomo sama sekali tidak memperjuangkan persatuan Indonesia.

Sementara di bidang politik, dibuktikan melalui pembentukan organisasi modern sebagai wahana mobilitas dan dinamika semangat juang masyarakat Indonesia. Di antaranya adalah H.O.S. Tjokroaminoto yang memimpin Sarikat Islam (SI) untuk membangkitkan kesadaran politik umat Islam di Indonesia, K.H. Achmad Dahlan yang membangkitkan kesadaran pendidikan nasional melalui Persarikatan Muhamadiyah, Muhammad Yunus dan H. Zamzam yang membangkitkan kesadaran purifikasi ajaran Islam melalui Persatuan Islam. Fakta tersebut menunjukkan bahwa para ulama dan santri berjuang melawan segala bentuk penindasan sesuai dengan kondisi zaman.

Selain sejumlah fakta tersebut, buku setebal enam ratus halaman yang diterbitkan Salamadani ini juga menyajikan berbagai fakta lain yang mencengangkan dan tidak terungkap dalam buku-buku sejarah konvensional. Misalnya, masuknya Islam ke Indonesia terjadi pada abad ke-7 M, bukan abad ke-13 M. Sebab, pada abad ke-7 M ditemukan masyarakat Islam di pesisir barat Sumatra dan nisan ulama Syaikh Mukaiddin di Baros, Tapanuli. Runtuhnya kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha pun bukan akibat dominasi kerajaan Islam. Selain itu, ternyata kekuasaan khilafah Islam dari Timur Tengah berpengaruh besar terhadap perkembangan peradaban di Indonesia, lewat keberadaan pesantren atau madrasah.

Walaupun buku ini ditulis berdasarkan historiografi Islam, tetapi tidak adil jika menilai buku ini hanya menonjolkan peran salah satu golongan. Namun lebih dari itu, buku ini layak diapresiasi dan dijadikan pembanding terhadap buku-buku sejarah yang beredar. (Cecep Wijaya Sari, alumnus Sastra Inggris Unpad) ***

Tulisan ini dimuat di Harian Umum “Pikiran Rakyat” edisi Kamis, 17 Desember 2009. 

Robert Downey, Pengaruh Istri

”DI balik kesuksesan seorang pria terdapat seorang wanita hebat.” Tampaknya ungkapan ini pantas ditujukan pada pemeran utama ”Sherlock Holmes”, Robert Downey Jr. (44). Dia mengaku, sang istri, Susan Levin, berpengaruh besar terhadap dirinya.

Aktor asal New York, Amerika Serikat  itu tidak pernah bisa membayangkan hidupnya tanpa kehadiran Levin yang dinikahinya empat tahun silam. Sang istri telah mengubah hidupnya menjadi lebih baik. ”Dia benar-benar merupakan separuh hidup saya,” ujar pria kelahiran 4 April 1965 itu, seperti dikutip Showbizpsy.

Downey dan Levin sama-sama terlibat dalam film yang memvisualisasikan karakter rekaan Sir Arthur Conan Doyle. Downey sebagai aktor dan Levin sebagai produser. Downey mengaku senang bisa bekerja sama dengan istrinya dalam penggarapan film tersebut. ”Membuat film sangat menguras waktu dan tenaga sehingga membuatmu lupa akan kehidupan nyata selama berhari-hari. Jadi saya harus lari bersamanya (Levin), bukan lari darinya,” kata Downey.

Akting Downey dalam film berdurasi 139 menit ini patut diacungi jempol. Dia bagai menyatu dengan karakter detektif bercangklong pipa tembakau yang diperankannya itu. Dalam film ini, Holmes dan  rekannya, Dr. John Watson, mempunyai misi mengungkap kejahatan Lord Blackwood yang ingin menguasai Inggris. Petualangan keduanya menjadi tontonan yang seru dan menegangkan. Sukses ditayangkan perdana di Inggris, ”Sherlock Holmes” kini tengah diputar di seluruh bisokop di dunia, termasuk di Indonesia. Film bergenre drama petualangan ini disutradarai oleh Guy Ritchie yang juga pernah menggarap film ”Revolver” pada 2005 lalu. Selain Downey, film ini juga menampilkan Jude Law, Mark Strong, dan Rachel McAdams.